Friday, February 22, 2013

Sebuah sudut di Pendopo Sekolah

Saat berada di sebuah sudut di pendopo sekolah, jari-jari ku mengajak untuk menulis di blog. Angin yang sepoi-sepoi menyapa sangat lembut dan mendamaikan, anak-anak ekstrakurikuler yang sedang menari-nari indah dengan selendang yang menghiasinya, pohon-pohon dan tanaman hijau yang menari-nari karena tertiup angin, anak-anak sekolah yang sedang asyik mengobrol dan bercanda ria, ataupun sedang sibuk mengutak-atik laptop dengan raut wajah yang sangat antusias sekali hehe terkadang ada yang sampai tertidur di pendopo ya itulah keramaian kecil yang tercipta di pendopo ini. Mendamaikan sekali rasanya..

Semuanya berbaur disini.. Ketika kita lelah belajar di kelas dengan segala tugas yang menumpuk, mungkin pendopo salah satu tempat yang dapat menenangkan pikiran sejenak, dan mencari udara yang segar untuk dinikmati sambil beristirahat. Tak jarang juga pendopo dijadikan kelas kedua, untuk mengerjakan tugas. Mungkin karena suasananya yang sangat berbeda dengan di kelas. 

Banyak kenangan di setiap sudut pendopo ini, banyak waktu yang dihabiskan di tempat ini. Tak ada waktu yang terbuang sia-sia, kita sangat menikmatinya sampai akhirnya tubuh ini mengajak untuk pulang ke rumah..


Di sebuah sudut di pendopo sekolah dengan segala kedamaiannya.




Monday, February 18, 2013

Kring..Kring..Sepedaku

Hai..
Kali ini gak mau pake bahasa yang terlalu baku ah, pengen pake gaya bahasa yang rileks aja. Hihi.. sadar banget sih kalo bahasa indonesia ku yang masih acak-acakan..

Oke, duh entah kenapa aku lagi kangen banget nih ke sekolah naek sepeda. Terakhir waktu duduk di bangku SMP, waktu aku sekolah di Jawa tepatnya dulu aku sempat tinggal tiga tahun di rumah nenek ku. Sekarang aku udah kelas dua SMK, dan setiap harinya kalo sekolah harus merogoh saku yang lumayan besar untukku untuk naik angkutan umum. Ibu sih fine-fine aja, tapi kadang aku berpikir, andai saja uang yang aku keluarkan setiap harinya untuk naik angkutan umum bisa aku tabung untuk keperluanku sekolah atau keperluan lainnya. Hmmm...

Jadi inget deh masa-masa di SMP dulu, duh suka banget yah kayanya nostalgia. Habisnya itu gak akan pernah terlupakan sih.. :))
Dulu di jawa itu hampir semua anak-anak sekolah naik sepeda untuk sampe ke sekolahnya masing-masing, tak terkecuali aku. Mau yang tinggal di desa ataupun di perkotaan, hampir semuanya naik sepeda.
Dulu aku dibelikan sepeda mini warna merah dengan keranjang di depan untuk menaruh tas sekolah. Dia yang selalu menemani langkahku pada saat di jawa. Ke sekolah, pergi les, pergi ke pasar, latihan ekskul di sekolah, ke tempat saudara dan lain-lain. Jarang banget aku minta anter Simbah untuk pergi kemana-mana, aku lebih asyik dengan di Merah. 
Dulu aku tinggal di desa, lumayan jauh dari pusat kota, dengan keadaan seperti itu hidup serasa penuh perjuangan. Hehe, bagaimana tidak, jalanan yang penuh dengan kerikil bahkan batu-batu besar, terkadang harus melewati jalan kecil di pematang sawah, apalagi kalo kita mengharuskan pergi malam hari, huh tak jarang jalanan layaknya kuburan yang akan kita jumpai. Ya tapi itu memang sensasinya, yang tak pernah aku rasakan saat aku hidup di perkotaan. 

Di pagi hari, setelah bangun pagi dan solat subuh, biasanya sepedaku aku bersihkan dulu, ya sekedar dilap bagian-bagiannya agar tidak terlihat terlalu kotor untuk di pakai pergi sekolah. Setelah itu aku bersiap-siap terlebih dahulu, tidak perlu waktu yang lama, karena aku sudah menyiapkan segala keperluan sekolah malam harinya. Kemudian, akan nampak seorang perempuan dengan sepedanya yang berwarna biru dan berseragam denganku, ya dialah Mega. Teman satu sekolahku, teman satu desaku, teman sejati deh pokoknya hehe. Kemudian kita memulai perjalanan dengan menggunakan sepeda kita masing-masing. Selalu ada percakapan yang seru sepanjang perjalanan dengannya, tertawa dan becanda gila-gilaan sambil mengkayuh sepeda.
Biasanya tantangan yang kita lewati pertama itu adalah sawah tak jauh dari desa, tantangannya kita harus menerobos kabut-kabut putih bahkan terkadang sampai mengkaburkan pandangan kami, sehingga jalanan di depan hanya terlihat gumpalan-gumpalan putih. Terus, biasanya alis mata kita layaknya seorang nenek yang sudah beruban, hehe putih karena terkena kabut, setelah itu kita pasti saling menertawakan satu sama lain. Huh seru sekali bila diingat-ingat. Kemudian, tantangan kedua kita akan melewati sebuah jalan dimana jalan itu penuh dengan kerikil, bebatuan, huh terkadang kami rasanya ingin terbang saja, walaupun mustahil. Keadaannya sungguh memprihatinkan, tapi mau bagaimana lagi mau gak mau itu harus kita lewati. Cukup panjang jaraknya, hingga sampai diwilayah perkotaan. Akhirnya sampailah kita bertemu dengan jalanan aspal  perkotaan, sungguh jalanan aspal nan mulus tak ada kerikil seperti di desa rasanya bagi kita adalah sebuah kenikmatan sementara sampai nanti di sekolah kita. Selain kita menikmati rasanya mengkayuh sepeda dengan santai, biasanya jika kita sudah masuk di daerah perkotaan kita akan bertemu dengan teman-teman yang akan berangkat sekolah juga dengan menggunakan sepeda, sungguh pemandangan yang bersahaja sekali, kami semua sangat menikmati pagi hari yang sejuk dan agak sedikit berhawa dingin, dengan semangat untuk menuntut ilmu, mengkayuh sepeda dengan penuh suka cita, demi membahagiakan ayah dan ibu di rumah dengan ilmu yang kita dapat di sekolah, bercanda dengan teman dijalan, membopong tas dipunggung, terkadang ada yang jahil memainkan bel sepedanya, ada juga yang mengkayuh sepeda dengan cepat karena mungkin takut terlambat, ya itulah pemandangan setiap pagi yang selalu aku lihat pada saat aku di jawa.
Sekarang aku sudah kembali di kota kelahiranku, bergulat dengan asap-asap kendaraan metropolitan yang mungkin sudah berteman denganku. Dulu aku bebas menghirup udara segar dipagi hari, tapi kini aku harus menggunakan masker, untuk melarang asap-asap nakal yang mengganggu kesahatanku.

Aku rindu bersepeda.. aku ingin seperti dulu..
Aku ingin merasakan perjuangan itu kembali untuk sampai ke sekolah..
Walaupun dengan keadaan dan kondisi yang berbeda, tapi aku ingin setiap pagi mendengar Kring..Kring..Sepedaku...


Saturday, February 16, 2013

Syair Resi Walmiki untuk Dewi Sinta (Cerita Ramayana)

" Ditepi sungai itu, Dewi Sinta menceritakan riwayat hidupnya kepada Walmiki. Hidupnya begitu sengsara, terlunta-lunta seorang diri di dalam rimba. Pikirannya selalu terkenang Ayodya, batinnya menjerit sia-sia mengharap Rama menyusulnya.
Bersama Walmiki, petapa dalam sunyinya rimba Jantaka, Sinta hidup bahagia. Enam bulan dalam perawatan sang petapa, Sinta melahirkan bayi lelaki kembar. Rama Batlawa dan Ramakusya namanya.

Putra kembar Rama yang serupa bagai pinang dibelah dua. Kelak, keduanya lebih perkasa dari Rama dan Lesmana. Mengapa tidak mungkin menjadi satria perkasa jika Walmiki sendiri mengharapkannya? Atas nama cinta kepada Sinta. Atas nama penghormatan kepada eyangnya, Batlawa dan Ramakusya pun tumbuh menjadi pemuda sakti mandraguna.

Begitulah kodratnya untuk menghukum Rama yang lupa. Anak-anak boleh menghukum ayahnya demi kemuliaan Ibunya yang hidup menderita karena cinta. Menenangkan diri dari hiruk-pikuknya kejahilan hidup di istana. Batlawa dan Ramakusya mahir mengolah senjata. Tekun pula menulis dan membaca sastra. Sebab di jagat raya disimpan untuk ditimba. Bersama Walmiki, hidup jadi berguna. Karena satria hanya tahu senjata. Sedangkan petapa merenungkan kehidupan di dunia.

Sungguh Sinta merasa lega dan bahagia. Putra kembarnya tidak menjadi singa. Bahagia sebagai manusia biasa, bukan dewa yang senantiasa berharap untuk dipuja. Di tepi rimba, di pinggiran sungai kenanga, dalam pemandanga alam serba indah tiada tara. Batlawa dan Ramakusya belajar mandiri. Berenang di kali yang jernih, berburu, berladang dan beternak. Memanah, memancing ikan, berlari, mendaki, dan berkuda. Melukis, membaca, menari dan bernyanyi. Berdebat, berpikir, berhitung dan mengkaji.

Di pagi buta mencatat cahaya yang datang pertama. Siang hari menanam bibit palawija. Sore hari menghayati senja yang merah membara. Malam hari mengamati bintang di langit sana. 

Batlawa dan Ramakusya menjadi pelajar utama di Padepokan Wismaloka..

Dalam naungan kasih Dewi Sinta, dari tahun ke tahun, Rama Batlawa dan Ramakusya belajar dengan banyak bertanya kepadanya. Langit di luar dan langit di badan jadi persoalan dan pembahasan kegemarannya. Namun satu yang membuatnya berat untuk menjawab adalah pertanyaan tentang siapa sesungguhny ayah mereka. 'Siapakah bapak kami berdua, Ibu?' Mereka berdua selalu bertanya tentang hal itu. Maka, Resi Walmiki pun meriwayatkan Ramayana untuknya.
'Ah.. betapa kejamnya, Rama. Sungguh kasihan Dewi Sinta,' kata mereka. Tak tahu yang dimaksud adalah Dewi Sinta ibunya. 'Siapakah Ayah kami, siapakah kami ini?' mereka tak hendak berhenti bertanya.
'Bersabarlah, cucuku. Pada saat nanti kaupun akan menemuinya.. jawab sang Petapa.