Wednesday, April 16, 2014

A short story about 3600 Detik’s Movie

Pertama gue pengen bilang, bahwa gue ngetik ((calon)) postingan blog gue ini dalam bentuk word document. Kalian tau kenapa? Entah gue jarang banget tidak mengandalkan hotspot gratis di sekolah untuk internetan. Ya gue emang udah jarang banget ngisi pulsa modem sekarang. Hha. Wahatever, this is not important.

Okay,

Beneran gue gak bohong, gue ketik tulisan ini setelah beberapa jam gue nonton sebuah film karya anak bangsa berjudul 3600 Detik. Pas di Gramedia sih, gue sama temen-temen berencana buat nonton film Captain America. Pas udah di eks eks wan, ternyata adanya seat yang tidak sesuai harapan kita, finally kita mutusin buat nonton film 3600 Detik.

Well, kalo boleh jujur sebenernya gue udah agak kebayang gitu deh cerita yang akan terjadi di film itu. Ditambah lagi pas di Gramed gue sempet megang novelnya. Hmm, setelah mbak-mbak twenti wan bilang kalo teater empat udah dibuka, masuklah kita dengan segala ((sesajen)) yang sudah kita siapkan.

Jadi gini, sebenernya film ini intinya mengisahkan seorang gadis bernama Sandra yang dulunya bahagia banget punya keluarga yang harmonis, sampai pada akhirnya perceraian pun terjadi pada orangtuanya. Dan papahnya memutuskan pindah ke luar negeri. Sang mamah pun selalu saja sibuk dengan segudang pekerjaan, sampai-sampai Sandra ini merasa bahwa kedua ortunya udah gak peduli lagi sama dia. Sampai akhirnya dia jadi anak yang bandel, tukang mabuk, dandan kayak anak punk gitu, pokoknya cewe nakal gitu deh. Singkat cerita dia ketemu sama satu cowo kutu buku namanya Leon. Mereka ini sama, sama-sama gak punya temen karena keanehan mereka satu sama lain. Leon ini seneng banget bisa ketemu Sandra. Dia berusaha keras buat ngedeketin Sandra dengan maksud membuat Sandra lebih baik lagi. Sampai akhirnya diujung cerita, ternyata Leon mengidap penyakit Kanker Darah dari kecil, dan Sandra pun sedih. Nah, Sandra ternyata punya “wish” untuk menghabiskan 3600 detik bersama Leon di sebuah area bermain (it’s like Dufan). Mereka seneng-seneng, makan bareng, foto bareng sampai akhirnya Leon hampir menemui ajalnya di dalem mobil, dan Leon bilang kalo itu 3600 detik terindah dalam hidupnya dan saat itu juga mereka saling menyatakan kalo mereka saling sayang. Alhasil, Sandra pun berhasil menjadi anak yang berprestasi di  sekolah, dan itu dia buktikan demi Leon.

Sebenernya gue pengen sedikit mengkritik film ini. Well, gue disini mencoba menjadi penonton  yang cerdas. Hha. Maklum semenjak punya banyak temen sineas, gue jadi lebih kritis saat nonton film di bioskop.
Yang pertama gue suka sama ceritanya, tapi menurut gue di awal cerita bikin boring dan super bete. Baru di akhir cerita aja agak bikin geter sedikit. Gue  ngerasa cerita sebagus ini akhirnya jadi kayak ftv anak muda yang gampang banget ditebak. Gue gatau ini salah ngedirect atau salah dari penulis skenarionya. Dan akhirnya film  ini tuh ngingetin gue sama satu film berjudul “pupus”. Terus menurut gue dandanan style si Sandra really overacted. Menurut gue kenakalan si Sandra cukup aja ditunjukin dengan sikap dan attitude dia. Soalnya gak mungkin banget ada sekolah yang mau nerima siswa rambut di sambung warna merah, tindikan dimana-mana, rok pendek, terus sepatu merah. Terlalu dibuat-buat. Terus ada beberapa adegan yang jayus banget, yang ngebuat si Sandra jadi apa banget di mata penonton kayak gue. Gak inget detail. Dan yang terakhir yang paling bikin gue mikir, mana ada sih udah sakit kanker darah gitu tapi dibolehin  dokter sama ortunya buat naik-naik wahana-wahana yang mengerikan gitu. Seharusnya moment 3600 detik itu bisa dikemas dengan lebih manis dan romantis dari mereka. Over all itu sih. Pokoknya Cuma akhir dari cerita di film ini aja yang cukup bagus menurut gue.

But, cerita film ini sebenernya bagus banget buat anak-anak brokenhome. Supaya lebih termotivasi lagi untuk menghadapi segala ujian hidup. Bahwa, tidak ada orang tua yang ingin melihat anaknya terpuruk dan sedih. Namun, mungkin perceraian yang bisa membuat keadaan lebih baik. Dan perceraian bukanlah alasan tidak menyayangi anak, mungkin itu salah satu jalan bahwa hal-hal yang menyakitkan dalam rumah tangga tidak boleh dipelihara lama-lama jika sudah tidak bisa dicari jalan keluarnya.

Sebagai brokenhome’s child, gue juga pengen bilang sesuatu ke kalian yang mungkin juga sama dengan gue dan lagi baca tulisan gue ini, jangan pernah menganggap bahwa orang tua kita tidak sayang sama kita karena mereka bercerai. Janganlah merasa tidak ada yang peduli lagi dengan kita, lalu merusak diri kita sendiri. Justru kita harus buktikan bahwa di saat yang terpuruk pun kita bisa tetap berprestasi dan tersenyum bahagia untuk kedua orang tua kita. Berilah mereka kekuatan yang bisa membuat mereka merasa bahwa mereka memiliki anak yang kuat. Dekatlah dengan Sang Pencipta, yang tak pernah berhenti memberikan kasih sayangNya kepada kita.


Tangerang, 12 April 2014