Saturday, February 16, 2013

Syair Resi Walmiki untuk Dewi Sinta (Cerita Ramayana)

" Ditepi sungai itu, Dewi Sinta menceritakan riwayat hidupnya kepada Walmiki. Hidupnya begitu sengsara, terlunta-lunta seorang diri di dalam rimba. Pikirannya selalu terkenang Ayodya, batinnya menjerit sia-sia mengharap Rama menyusulnya.
Bersama Walmiki, petapa dalam sunyinya rimba Jantaka, Sinta hidup bahagia. Enam bulan dalam perawatan sang petapa, Sinta melahirkan bayi lelaki kembar. Rama Batlawa dan Ramakusya namanya.

Putra kembar Rama yang serupa bagai pinang dibelah dua. Kelak, keduanya lebih perkasa dari Rama dan Lesmana. Mengapa tidak mungkin menjadi satria perkasa jika Walmiki sendiri mengharapkannya? Atas nama cinta kepada Sinta. Atas nama penghormatan kepada eyangnya, Batlawa dan Ramakusya pun tumbuh menjadi pemuda sakti mandraguna.

Begitulah kodratnya untuk menghukum Rama yang lupa. Anak-anak boleh menghukum ayahnya demi kemuliaan Ibunya yang hidup menderita karena cinta. Menenangkan diri dari hiruk-pikuknya kejahilan hidup di istana. Batlawa dan Ramakusya mahir mengolah senjata. Tekun pula menulis dan membaca sastra. Sebab di jagat raya disimpan untuk ditimba. Bersama Walmiki, hidup jadi berguna. Karena satria hanya tahu senjata. Sedangkan petapa merenungkan kehidupan di dunia.

Sungguh Sinta merasa lega dan bahagia. Putra kembarnya tidak menjadi singa. Bahagia sebagai manusia biasa, bukan dewa yang senantiasa berharap untuk dipuja. Di tepi rimba, di pinggiran sungai kenanga, dalam pemandanga alam serba indah tiada tara. Batlawa dan Ramakusya belajar mandiri. Berenang di kali yang jernih, berburu, berladang dan beternak. Memanah, memancing ikan, berlari, mendaki, dan berkuda. Melukis, membaca, menari dan bernyanyi. Berdebat, berpikir, berhitung dan mengkaji.

Di pagi buta mencatat cahaya yang datang pertama. Siang hari menanam bibit palawija. Sore hari menghayati senja yang merah membara. Malam hari mengamati bintang di langit sana. 

Batlawa dan Ramakusya menjadi pelajar utama di Padepokan Wismaloka..

Dalam naungan kasih Dewi Sinta, dari tahun ke tahun, Rama Batlawa dan Ramakusya belajar dengan banyak bertanya kepadanya. Langit di luar dan langit di badan jadi persoalan dan pembahasan kegemarannya. Namun satu yang membuatnya berat untuk menjawab adalah pertanyaan tentang siapa sesungguhny ayah mereka. 'Siapakah bapak kami berdua, Ibu?' Mereka berdua selalu bertanya tentang hal itu. Maka, Resi Walmiki pun meriwayatkan Ramayana untuknya.
'Ah.. betapa kejamnya, Rama. Sungguh kasihan Dewi Sinta,' kata mereka. Tak tahu yang dimaksud adalah Dewi Sinta ibunya. 'Siapakah Ayah kami, siapakah kami ini?' mereka tak hendak berhenti bertanya.
'Bersabarlah, cucuku. Pada saat nanti kaupun akan menemuinya.. jawab sang Petapa.